Menjadi Laki-laki dalam Bingkai Patriarki: Membongkar Demistifikasi Hegemoni dalam Autobiography (2022)
Karya: Ni Luh Ayu Sukmawati
"Power is everywhere; not because it embraces everything, but because it comes from everywhere." - Michel Foucault
"Autobiography" karya Makbul Mubarok, layaknya sajak visual penuh nuansa yang mengeksplorasi isu-isu sosial dengan keberanian, telah memenangkan hati dan penghargaan perfilman internasional. Film ini menghiasi diri dengan 14 penghargaan internasional sepanjang tahun 2022, termasuk penghargaan dari Festival Film Indonesia (FFI), yang merupakan mahkota kemegahan bagi perfilman Indonesia. Film ini kemudian meraih legitimasi borjuis karena samar-samar memberikan kesesuaian semangat zaman dan juga konteks Indonesia kekinian. Sebagai institusi yang berpengaruh dalam dunia seni dan budaya, FFI dan sejumlah penghargaan lainnya memberikan validasi dan dukungan terhadap karya yang menggali isu-isu sosial dan politik yang signifikan, memperkokoh posisi dan relevansi film dalam konteks budaya yang lebih luas.
Capaian film ini menunjukkan peran pentingnya dalam menegakkan otonomi artistik dan menjaga integritas seni. Ini merupakan bukti bagaimana film makers menilai dan mengakui signifikansi proses kreatif dan intelektual dalam menciptakan karya seni yang memiliki dampak substansial. Film ini, oleh karena itu, tidak hanya menargetkan untuk mencapai legitimasi populer melalui penayangan di platform digital yang lebih aksesibel, tetapi juga mengekspresikan komitmen terhadap nilai-nilai artistik dan intelektual yang fundamental dalam penciptaannya.
Cerminan upaya yang sengaja dalam menggabungkan berbagai jenis legitimasi, termasuk borjuis dan populer, untuk mencapai sukses dan pengaruh yang lebih besar dalam dunia seni dan budaya (Bourdieu, 1984). Dalam menghadirkan karya yang mengeksplorasi isu-isu sosial dan politik yang penting melalui medium seni, film ini menunjukkan ambisi untuk menciptakan perubahan dan refleksi dalam masyarakat yang lebih luas dengan menjangkau audiens melalui platform penayangan digital.
Dalam konteks teori Bourdieu mengenai prinsip legitimasi dan situasi ambivalensi dalam arena seni, film Autobiography dapat dianalisis sebagai contoh karya seni yang berhasil menavigasi antara dua prinsip hierarki yang saling bersaing: prinsip hierarki heteronom dan prinsip hierarki otonom. Dari sudut pandang prinsip hierarki heteronom, film ini mencapai kesuksesan komersial melalui penonton yang melonjak dalam penayangannya di platform streaming populer seperti Prime Video. Hal ini menunjukkan bahwa Autobiography telah memperoleh pengakuan yang didasarkan pada kesuksesan komersial dan popularitas di pasar. Namun, dari sudut pandang prinsip hierarki otonom, Autobiography juga mencerminkan komitmen tak tergoyahkan terhadap otonomi estetika dan integritas seni dalam menghadirkan narasi visual yang menggali isu-isu sosial dan politik penting, serta peran seni dan budaya sebagai medium untuk mengkomunikasikan gagasan dan pandangan kritis. Karya ini berhasil menavigasi antara dua kutub prinsip hierarki heteronom dan otonom, film Autobiography menciptakan keseimbangan yang menakjubkan antara kesuksesan komersial dan prestise artistik. Dalam pandangan Bourdieu, arena seni berada dalam spektrum yang terus bergerak antara kedua prinsip ini, dan film ini menunjukkan bagaimana karya seni dapat mempertahankan otonomi yang relatif terhadap arena kekuasaan dan ekonomi, sambil tetap mendapatkan pengakuan dan legitimasi dari berbagai pihak, baik rekan sejawat maupun penikmat film (Bourdieu, 2010). Dengan ambivalensi legitimasi yang hadir, lantas apa yang sebenarnya ingin dikomunikasikan oleh Mubarok melalui Film Autobiography?
Film menjadi medium refleksi praktik masyarakat, melalui pemberian penghargaan dan dukungan institusional, film seperti Autobiography mendapatkan kesempatan untuk menjangkau audiens yang lebih luas dan memberi efek diskursif kepada masyarakat untuk membingkai ulang pandangan militerisme kekinian. Hal ini menunjukkan bahwa pengakuan borjuis tidak hanya berfungsi sebagai validasi dalam dunia seni dan budaya, tetapi juga sebagai alat untuk mempromosikan diskusi akademis dan kritis mengenai topik-topik yang penting dalam konteks sosial dan politik. Film ini menegaskan pentingnya keterlibatan pemikiran kritis dalam pembuatan film, dikuatkan dengan nilai-nilai yang dianut oleh institusi seperti FFI dalam memberikan pengakuan bagi karya-karya yang memiliki dampak sosial dan politik yang signifikan, yang kemudian menggaris bawahi pula peran seni dan budaya sebagai medium untuk mengkomunikasikan gagasan dan pandangan kritis, serta potensi untuk menginspirasi perubahan dan refleksi dalam masyarakat.
Seakan menari melalui aspek-aspek sosiologis masyarakat Indonesia, film ini menyoroti pandangan mereka tentang militerisme sebagai alat kekuasaan dan idealisme dalam kepemimpinan. Kisah tentang seorang Jenderal Purnawinata yang dihormati dan berpengaruh di desanya, film ini mempertanyakan norma tradisional dan ekspektasi masyarakat ketika orientasi seksual sang jenderal digugat oleh Rakib, anak muda yang juga menjadi pembantu sang jenderal.
Film ini kemudian mengeksplorasi bagaimana seseorang yang memiliki posisi kekuasaan dan pengaruh, seperti Jenderal Purnawirawan, dapat terlibat dalam penyalahgunaan kekuasaan. Pelecehan yang dialami Rakib menjadi titik balik dalam narasi, mengungkap sisi tersembunyi sang jenderal yang sebelumnya dianggap sebagai sosok pemimpin yang ideal.
Autobiography mengajak penonton untuk merenungkan kompleksitas karakter dan dinamika kekuasaan dalam masyarakat Indonesia melalui film. Dengan menggali tema-tema yang serius dan menggugat, film ini menginspirasi dialog dan pemikiran kritis mengenai norma sosial, ekspektasi masyarakat, dan tantangan yang dihadapi oleh mereka yang berada di bawah tekanan lingkungan konservatif dan militeristik.
Realitas Sosial-Politik dalam Bingkai Simbol dan Warna
Makbul Mubarok berhasil menciptakan bahasa visual yang menggugah mata dengan penggunaan simbol dan warna yang kaya akan makna. Dalam film ini, objek dan elemen visual digunakan untuk mengkomunikasikan cerita dan karakteristik tokoh dengan cara yang halus dan efektif. Dalam labirin narasi yang menggugah, permainan catur menjadi elemen utama yang membentuk jantung dari cerita. Permainan catur berperan sebagai alegori yang menegangkan mengenai hubungan antara Jenderal Purnawinata dan Rakib. Dalam permainan yang penuh intrik dan taktik ini, Jenderal seakan-akan memberikan warisan ilmu pengetahuan dan karakter kepemimpinan yang monumental kepada Rakib, sang lawan mainnya. Simbolisme catur ini menciptakan gambaran dramatis mengenai dinamika kekuasaan yang berubah-ubah dan evolusi hubungan antara dua tokoh sentral yang saling terkait dalam perjuangan kekuatan dan pengaruh.
Realisme ala Bazin pun muncul sebagai kekuatan yang tak terbendung, mempengaruhi representasi isu-isu sosial dan politik yang dialami para karakter, walaupun tidak 100% menjadikan film realis. Tensi naratif yang mencapai puncak antara Rakib dan Jenderal berhasil menciptakan atmosfer yang begitu menakjubkan tanpa perlu mengandalkan efek suara dramatis atau teknik montase yang akrobatik. Framing yang anggun dan monumental beberapa kali ditampilkan dalam film ini, mempersembahkan penonton dengan pengalaman ketegangan yang tak terlupakan dalam pertarungan ideologi antara kedua karakter tersebut. Senada dengan tanggapan dari beberapa penonton, termasuk media kritik film Cine Crib yang menuliskan pada thumbnail bahwa "Film Autobiography lebih ngeri dari horror" (Cine Crib, 2023) yang mana film ini bukanlah film bergenre horror. Film Autobiography kemudian berhasil menggemparkan dunia perfilman Indonesia dengan keberaniannya dalam menghadirkan realisme yang menggigit karena mampu menciptakan suatu karya sinematik yang tak hanya memukau, tetapi juga menggugah kesadaran penonton tentang masyarakat yang politis nan hirarkis.
Melalui penggunaan teknik framing deep focus yang diilhami oleh pandangan André Bazin, film ini menciptakan suatu pengalaman visual yang begitu memukau sekaligus menghantui, membuat penonton terhanyut dalam dunia yang diciptakan oleh sutradara (Bazin, 2005). Ketegangan, emosi, dan erotisme yang dihadirkan oleh film ini menjadi lebih intens dan tak terkendali, mengajak penonton untuk merasakan secara langsung keganasan dan bengisnya realitas yang diperankan oleh Sang Jenderal. Sutradara Makbul Mubarok secara cerdas mengimplementasikan pendekatan realisme ini untuk menghadirkan perasaan intensitas dan urgensi dalam menggali isu-isu sosial dan politik yang ditampilkan dalam film.
Kehadiran realisme dalam film ini juga mengilhami penonton untuk merenungkan tentang permasalahan yang diangkat dalam cerita, serta menggugah empati dalam menghadapi realitas yang rumit dan seringkali kontradiktif. Film Autobiography merupakan karya sinematik yang memadukan dengan cemerlang pandangan Bazin tentang realisme dengan eksplorasi isu-isu sosial dan politik yang bermakna, sembari mempertahankan integritas artistik dan otonomi kreatif yang dihargai oleh para pembuat film.
Film ini juga menghadirkan skema warna yang eksentrik dan dramatis dalam rangka mengekspresikan perubahan karakter serta suasana emosional yang dialami para tokoh utama. Warna hijau yang semula melingkupi pakaian Rakib menjadi representasi kepolosan, kebingungan, dan ketidaktahuan yang memayungi karakternya. Namun, seiring dengan berkembangnya narasi, Rakib terseret ke dalam nuansa merah yang melambangkan transformasi tajam dalam dirinya, menjelma menjadi sosok yang lebih berani dan pemberontak. Merah, layaknya bara api yang memanas, sering dikaitkan dengan kekuatan, gairah, dan bahaya (Kaya & Epps, 2004). Dalam film ini, merah menjadi simbol transformasi Rakib yang berani menentang ketidakadilan yang dialaminya, membebaskan diri dari belenggu ketakutan, dan menghadapi sang Jenderal yang bengis. Karya-karya seperti "Vertigo" (1958) karya Alfred Hitchcock dan "Her" (2013) karya Spike Jonze, juga memanfaatkan palet warna yang kuat dan mencolok untuk menciptakan suasana emosional dan mempengaruhi mood cerita. Dalam "Autobiography", penggunaan warna yang hiperbolis ini menciptakan atmosfer yang mendalam dan mempengaruhi emosi penonton. Seiring Rakib terlarut dalam warna merah yang bersemangat, penonton diajak untuk merasakan perubahan emosional dan konflik batin yang dialami oleh karakter tersebut. Permainan warna yang luar biasa ini berhasil memperkaya kisah dan memberikan pengalaman yang menyeluruh bagi penonton.
Kekuasaan Patriarkis Dalam Bingkai Dialektika Maskulinitas dan Modernitas
Dalam epik sinematik Makbul Mubarok, Autobiography mengungkap kebengisan patriarkal yang tersembunyi di balik tirai masyarakat dengan kekuatan narasi yang tak terbendung, menyoroti betapa kebengisan tersebut bukan hanya ditolerir, tetapi juga diterima sebagai panutan, terutama saat Jenderal mencalonkan diri sebagai bupati dengan menawarkan janji modernitas mewah berupa penyediaan listrik di desa yang terisolasi.
Film ini dengan cermat menggali dinamika sosial yang kompleks, menunjukkan bagaimana masyarakat cenderung mengabaikan atau bahkan mendukung perilaku yang kejam dan penindasan patriarkal, asalkan dapat membawa atau hanya sekadar menjanjikan kemajuan material atau kemakmuran. Di satu sisi, Jenderal mencerminkan harapan akan pembangunan dan modernitas yang diidamkan oleh masyarakat; di sisi lain, ia juga merupakan sosok yang mewujudkan kekuasaan yang bengis.
Struktur kekuasaan patriarkal mempengaruhi hubungan antara Jenderal dan Rakib, yang mencerminkan benturan antara nilai-nilai lama dan baru dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan. Seiring berkembangnya cerita, film ini menegaskan bagaimana Rakib mulai menantang otoritas Jenderal, bahkan ketika Jenderal mencoba mempertahankan kekuasaannya dengan menunjukan kemarahannya ketika balehonya dirusak yang sekaligus menandai tergoresnya maskulinitas militerisme yang membentuknya hingga Sang Jenderal pensiun.
Melalui analisis yang cermat, film ini sesungguhnya mengeksplorasi bagaimana kekuasaan patriarkal dapat menjadi sumber ketidakadilan dan penindasan, sekaligus menjadi alat yang digunakan oleh tokoh-tokoh seperti Jenderal untuk mempertahankan kekuasaan dan pengaruh mereka dalam masyarakat yang sedang berubah. Hal ini menjadi fenomena yang patut direnungkan tentang bagaimana nilai-nilai patriarkal dan kebengisan yang mendasarinya dapat fluid dalam struktur sosial, dan menggugat kita untuk merenungkan sejauh mana bersedia mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan demi pencapaian modernitas dan kemakmuran.
Autobiography melukiskan dinamika bahwa kekuasaan patriarkal justru memesona, karena diidamkan oleh masyarakat. Patriarki menjadi kode kulktural yang sengaja direntangkan layar bagi penonton untuk menjelajahi realitas struktur paling dalam masyarakat. Butler (1990) menekankan bahwa konstruksi gender adalah hasil dari performativitas, di mana perilaku dan identitas seseorang dibentuk melalui proses sosialisasi yang berulang dan didasarkan pada norma-norma gender yang ada. Patriarki termanifestasi melalui berbagai adegan dan situasi yang dramatis. Sebagai contoh, ketika suara perempuan diwakilkan oleh laki-laki, seperti pada scene di mana seorang ibu yang sedang hamil dan khawatir akan kebunnya yang akan dijadikan lahan pembangunan gardu listrik, diwakilkan oleh anaknya, Agus, saat kampanye Jenderal sebagai calon Bupati. Adegan ini mencerminkan konsep performativitas yang dikemukakan oleh Butler, di mana perempuan diharapkan untuk tunduk pada otoritas laki-laki, dan laki-laki dianggap sebagai pemegang kekuasaan dan otoritas. Menyuarakan perasaan dan kekhawatiran ibu melalui anak laki-lakinya, Agus, menegaskan peran perempuan dalam masyarakat patriarkal yang terkurung dalam batasan-batasan gender yang menggema. Adegan tersebut juga mengilustrasikan bagaimana patriarki memengaruhi dinamika kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, di mana suara perempuan seringkali dianggap kurang penting. Adegan tersebut mencerminkan realitas yang sering kali terjadi dalam masyarakat patriarkal, di mana suara perempuan kerap dikesampingkan, bahkan dalam situasi yang menyangkut kepentingan mereka secara langsung. Bahkan perempuan diam-diam mendambakan bahwa hanya meminjam suara laki-laki maka kepentingannya dapat didengar. Narasi ini menantang struktur kekuasaan yang ada dalam masyarakat yang cenderung mendukung patriarki, sekaligus menyoroti betapa pentingnya upaya untuk menyuarakan hak-hak perempuan yang kerap terabaikan.
Film Autobiography secara sakarstik sedang menyampaikan kritik tajam terhadap struktur patriarkal yang mendasari masyarakat. Dalam prosesnya, film ini juga mengajak penonton untuk merefleksikan bagaimana patriarki justru menjadi struktur hirarkis keseharian masyrakat, baik dalam konteks politik maupun sosial, dengan cara yang begitu dramatis dan penuh perasaan. Connell (1995) menekankan bahwa maskulinitas hegemonik dapat didefinisikan sebagai pola perilaku yang didukung oleh struktur kekuasaan patriarkal, yang menuntut laki-laki untuk dominan dan otoritatif. Dalam Autobiography, peran Jenderal sebagai figur patriarkal mencerminkan konsep ini. Hal ini mendukung Autobiography menjadi suatu karya yang mampu menggugat dan membuka diskusi mengenai realitas yang masih terjadi dalam masyarakat patriarkal dengan kepiawaian dalam menampilkan visual yang mengagumkan.
Jaring Kuasa dalam Bingkai Teologis nan Bengis
Autobiography membuka tabir kepada aspek kebengisan yang eksistensial, menghadirkan sebuah cermin yang memantulkan realitas sosial kita yang gelap dan kompleks. Mengambil landasan teori Sartre (1943) yang menyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk mendefinisikan diri mereka sendiri melalui tindakan dan pilihan yang mereka buat, kita bisa melihat bagaimana hal ini tercermin dalam perjalanan karakter Rakib. Kebengisan yang tak terelakkan ini menjadi simbol dramatis dari perjuangan heroik Rakib dalam mencari keadilan dan menentang sistem patriarkal yang merajalela dan menindas.
Konsep 'bad faith' oleh Sartre tampak jelas dalam perilaku Rakib, di mana dia menyadari dirinya berada dalam posisi yang salah namun tetap mengikuti perintah Jenderal. Rakib memilih untuk tunduk pada dominasi Jenderal, dan dalam prosesnya, dia menjadi 'being-for-others', yang berarti dia hidup sesuai dengan pandangan orang lain daripada mengejar kebebasannya sendiri. Simbolisme kebengisan ini dikonfirmasi melalui adegan yang menggetarkan, seperti penculikan Agus oleh Rakib, yang tampaknya heroik dan berani. Rakib bahkan membantu Jenderal membersihkan sisa darah di kursi mobil, suatu tindakan yang memberikan persetujuan simbolis pada tindakan kekerasan yang Jenderal lakukan terhadap Agus. Ketaatan ini berlanjut hingga adegan pemakaman Agus, di mana Rakib dan Jenderal hadir bersama, menyoroti ironi tragis dari hegemoni dalam narasi keseharian kita.
Setiap adegan dalam film ini menciptakan gambaran yang begitu hiperbolis dan penuh emosi tentang kebengisan eksistensial yang melingkupi kehidupan para karakter, seolah-olah menegaskan bahwa kebenaran yang kelam dan tak terelakkan ini tak bisa lagi disembunyikan di balik tirai kehidupan sehari-hari. Kekerasan, pengkhianatan, dan keputusasaan menjadi tema yang begitu kental dalam film ini, seolah ingin menunjukkan bahwa dalam perjuangan melawan sistem patriarkal yang merajalela, bahkan pilihan yang paling heroik pun dapat terasa pahit dan tragis. Film ini menggali lebih dalam bagaimana relasi kuasa yang tak simetris antara Rakib dan Sang Jenderal menciptakan lingkungan yang penuh dengan dominasi, kontrol, dan ketidakadilan. Penonton kemudian dapat menyaksikan bagaimana relasi kuasa yang kompleks ini mempengaruhi kehidupan individu dan masyarakat secara keseluruhan, menunjukkan dinamika relasi kuasa yang kompleks dan multidimensi, sebagaimana yang dijelaskan oleh Foucault (1977) berdampak secara signifikan terhadap kehidupan individu serta struktur masyarakat secara menyeluruh. Hal ini menunjukkan bahwa sumber kekuasaan tidak hanya berasal dari institusi yang obvious seperti militer dan otoritas politik, melainkan termanifestasi dalam interaksi sehari-hari dan perbuatan-perbuatan yang nampaknya tidak begitu signifikan, namun sebenarnya memiliki dampak yang mendalam dalam menggambarkan struktur kuasa yang ada (Foucault, 1977). Adegan di mana Rakib menculik Agus dan membersihkan jok mobil yang terkontaminasi oleh darah Agus, menggambarkan bagaimana kuasa beroperasi dan diterima secara tak terlihat sekaligus tersublimasi melalui aksi-aksi individu dan situasi sehari-hari. Adegan ini menekankan bagaimana relasi kuasa tersebut difraksikan melalui tindakan-tindakan yang tampak sederhana, namun sebenarnya mengandung implikasi yang jauh lebih mendalam dalam konteks struktur sosial yang lebih luas.
Sejajar dengan itu, film ini juga mengilustrasikan bagaimana Rakib, yang terperangkap dalam labirin sistem yang patriarkal, tetap berupaya untuk melawan dan menantang kuasa yang ada. Meskipun terbelenggu oleh tali-tali struktural yang mengekang, Rakib mencoba untuk membebaskan dirinya dan menggugat sistem dominasi yang menghimpit. Kompleksitas relasi kuasa kemudian tercermin pada tokoh Jenderal Purnawinata dan Rakib, bagaimana Rakib terjebak dalam system yang merugikan, namun masih berjuang untuk merebut kembali kendali dan otonomi atas kehidupannya.
Melalui penggambaran karakter yang mendalam, adegan-adegan yang sarat makna, serta interaksi antara para tokoh yang menggugah perenungan dalam film Autobiography karya ini berhasil membongkar konsep relasi kuasa yang tersembunyi dalam labirin yang kompleks dan berlapis-lapis. Ini menunjukkan bagaimana kekuasaan, seperti tentakel yang merayap dan mencengkeram, beroperasi pada berbagai tingkatan dan dalam berbagai konteks, sering kali dengan cara yang mengejutkan dan sulit dipahami. Potret dunia yang diciptakan oleh film ini memperlihatkan realitas kekuasaan tak pernah menghilang, meresap ke setiap sudut dan retakan kehidupan, dan menjerat individu dalam labirin kompleks yang tak henti-hentinya. Dalam perjuangan yang tak berujung ini, Rakib berusaha memperebutkan kendali dan otonomi atas takdir dirinya, layaknya petualangan epik melawan arus dominasi patriarkis nan bengis yang tak terkendali.
Senada dengan Camus (1942) yang menggambarkan absurditas sebagai konflik antara kehausan manusia akan makna dan ketidaksediaan alam semesta untuk menyuguhkannya. Adegan Rakib menculik Agus dan mencuci jok mobil yang berlumur darah Agus, dengan suatu perasaan yang sungguh-sungguh tragis, mengungkap absurditas ini dengan mengekspos kontras mencengangkan antara tindakan kekerasan yang tak termaafkan yang dilakukan Jenderal dan usaha Rakib yang penuh keputusasaan untuk mencari keadilan dalam dunia yang, tampaknya, dengan angkuh tidak peduli pada kebenaran dan keadilan. Rakib, dalam perjuangannya melawan sistem patriarkal yang bengis, berusaha untuk mengukir hidup yang bermakna dan otonom, sekaligus dihantui oleh absurditas yang merayapi setiap sudut keberadaan dan mengancam untuk menelan segala usahanya (Camus, 1942; Sartre, 1943). Keputusasaan dan kegigihan Rakib dalam mencari keadilan menggambarkan konflik eksistensial yang mendalam, yang mencerminkan perjuangan umat manusia untuk menciptakan diri dalam dunia yang penuh dengan ketidakpastian dan kebengisan.
Pertarungan maskulinitas yang hadir antara Sang Jenderal dan Rakib kemudian mengingatkan kita pada maskulin ala ‘warok dan gemblak’ yang mencerminkan bentuk kekuasaan dan hubungan tradisional dalam masyarakat Jawa, khususnya di kawasan Ponorogo. Warok adalah sosok yang dihormati dan memiliki peran penting dalam ritual dan kegiatan sosial. Sementara itu, gemblak adalah anak muda yang menjadi murid atau pengikut warok (Simatupang, 2019). Sebagai potret dari relasi kuasa warok dan gemblak, karakter Sang Jenderal dan Rakib dalam film Autobiography menghadirkan sebuah gambaran kontemporer tentang maskulinitas Jawa Timur yang khas. Dalam konteks ini, Sang Jenderal merepresentasikan warok yang memiliki posisi kuasa yang lebih tinggi, sementara Rakib memerankan peran gemblak yang lebih tunduk dan patuh pada warok. Hubungan ini mencerminkan tradisi lama dan nilai-nilai maskulinitas yang berakar dalam budaya Jawa Timur, sekaligus menyoroti interaksi dinamis antara latar belakang budaya dan pengalaman individu.
Melalui penggambaran hubungan antara Sang Jenderal dan Rakib, film ini menawarkan wawasan tentang bagaimana maskulinitas hegemonik Jawa Timur dapat dimaknai dan diperdebatkan dalam konteks kehidupan modern. Dalam menggali lapisan-lapisan kompleksitas relasi kuasa ini, kita dapat lebih memahami bagaimana tradisi dan norma masyarakat Jawa Timur beradaptasi, berevolusi, dan terus hidup dalam kehidupan sehari-hari.
Melalui lensa teori relasi kuasa Foucault (1978), hubungan antara warok dan gemblak serta Sang Jenderal dan Rakib mengungkapkan struktur relasi kuasa yang mendalam dan kompleks dalam konteks maskulinitas Jawa Timur. Dalam masyarakat, maskulinitas didefinisikan oleh dominasi dan ketergantungan yang saling berhubungan dan berlapis, menciptakan permainan kuasa yang senantiasa berubah dan berkembang. Relasi kuasa yang ditemukan mencakup berbagai aspek, seperti dominasi, kepatuhan, dan pengabdian, yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi dalam tatanan sosial.
Sang Jenderal, sebagai sosok yang dominan dan berkuasa, menggambarkan wajah maskulinitas yang tajam dan memancarkan aura kekuasaan. Dia melambangkan warok, pemimpin yang dihormati, yang tak hanya diakui atas kekuatannya tetapi juga kebijaksanaannya. Di sisi lain, seperti bayangan yang selalu mengikuti, Rakib mewakili gemblak, sosok yang lebih submisif dan patuh, yang mengikuti Sang Jenderal dalam setiap langkahnya. Hubungan ini menciptakan pusaran kuasa yang tak terbatas, di mana Sang Jenderal dan Rakib saling tergantung satu sama lain dalam perjuangan mereka untuk mencapai kontrol dan otonomi. Dalam konteks ini, relasi kuasa ala Foucault terbentang melalui lapisan-lapisan maskulinitas Jawa Timur, menggambarkan bagaimana otoritas, kepatuhan, dan pengabdian saling terkait dalam hubungan yang abadi antara warok dan gemblak, serta Sang Jenderal dan Rakib. Oleh karena itu, analisis relasi kuasa ini membuka jendela baru untuk memahami maskulinitas khas Jawa Timur yang mencerminkan nilai-nilai dan norma yang ada dalam masyarakat tersebut.
Autobiography dengan unik merajut narasi teologis dalam kanvasnya, yang dengan detil merefleksikan realitas masyarakat Indonesia yang teologis dan bengis. Adegan menabrak pagar masjid, ritual sholat jenazah, dan prosesi pemakaman bukan sekadar lapisan tambahan dalam cerita, melainkan mewujudkan cermin mimetis yang menggambarkan realitas masyarakat saat ini. Paradoks terungkap ketika film ini mengungkap pengekangan masyarakat dalam tradisi kekejaman, yang ironisnya dipahami sebagai alat penegak keadilan.
Boellstorff (2005) menawarkan perspektif dalam menganalisis dinamika antara Rakib dan Jenderal dalam Autobiography. Boellstorff (2005) mengartikulasikan bahwa dalam konteks Indonesia, queer bukan sekadar identitas, tetapi merupakan suatu 'dunia' yang mencakup ranah pribadi dan publik, memberikan ruang bagi perbedaan dan keberagaman pengalaman seksual. Dalam Autobiography, Rakib dipresentasikan sebagai sosok perlawanan, yang terperangkap dalam pengejaran kuasa yang dikuasai oleh Jenderal. Rakib mencoba melarikan diri, namun upaya tersebut seolah justru memperkuat dominasi Jenderal atas dirinya. Namun, adegan Sang Jenderal memandikan Rakib dan berkaraoke bersama dengan lagu "Kau lah Segalanya" oleh Jenderal menawarkan dimensi interpretasi yang lebih kompleks dan menantang. Adegan tersebut, melalui lensa Boellstorff, bukan hanya mengeksplorasi relasi paternalistik antara 'ayah dan anak' antara Jenderal dan Rakib, namun membuka ruang bagi interpretasi queer. Dalam konteks ini, adegan tersebut menciptakan 'dunia' queer sendiri, sejalan dengan konsep Boellstorff, di mana relasi kekuasaan dan afeksi antara Jenderal dan Rakib membingkai sebuah ruang yang membuka potensi interpretasi seksualitas yang lebih luas dan beragam. Meski demikian, narasi film ini juga memberikan kontras yang menantang antara aspek queer dan narasi heteronormatif dominan, yang mencerminkan kompleksitas dan kontradiksi dalam masyarakat Indonesia terkait pemahaman dan pengalaman seksualitas.
Rakib, karakter yang bergerak dalam spektrum antara 'being-for-others' dan 'being-for-itself' sebagaimana dikonseptualisasikan oleh Sartre. Di awal, Rakib tampak diperankan sebagai 'being-for-others', mencerminkan perilaku seseorang yang hidup melalui pandangan orang lain. Ini tercermin melalui kepatuhan dan pengabdiannya kepada Jenderal, seorang sosok dominan yang mengontrol tindakannya. Namun, terjadi pergeseran dalam peran Rakib. Dia mulai merasakan keinginan untuk membentuk identitas dan mempengaruhi keadaan sendiri. Contoh konkretnya terlihat saat Rakib berusaha kabur dari rumah Jenderal, menunjukkan penolakan dan perlawanan terhadap dominasi Jenderal. Ini merupakan upaya pertamanya untuk memperoleh 'being-for-itself', status di mana individu berusaha untuk mewujudkan esensi dan kebebasan mereka sendiri. Perubahan dramatis terjadi ketika Rakib bergerak mempertegas arah ke 'being-for-itself', di mana dia menembak Jenderal dalam adegan klimaks. Adegan ini menggambarkan penolakan Rakib terhadap status quo dan keberanian untuk mengambil tindakan berdasarkan pilihannya sendiri bahwa rakib sedang ada pada kubu heteronormatif dengan tegas menunjukkan bahwa dia bukan lagi 'being-for-others' tetapi telah memilih jalan untuk menjadi 'being-for-itself'.
Paradoks kemudian muncul dalam film ini ketika narasi heteronormatif dihadapkan dengan wacana queer. Adegan erotis saat Jenderal memandikan Rakib bukan hanya menciptakan ketegangan, namun juga menguatkan cara film ini untuk mencoba memberikan legitimasi pada diskursus heteronormatif. Upaya film untuk menantang dominasi kekuasaan melalui bahasa kekerasan malah mempertegas hegemoni tersebut, sebagaimana ditampilkan pada adegan klimaks, di mana Rakib menembak Jenderal. Pesan yang sakarstik dalam adegan ini adalah bahwa kekerasan merupakan bahasa tunggal yang dikenali dan dipahami oleh kuasa yang mampu memberikan kekuatan untuk menguatkan wacana heteronormatif.
Simpulan
Autobiography sebagai karya sinematik yang tajam dan berani dalam mempertanyakan struktur patriarkal dan relasi kuasa yang ada dalam masyarakat. Melalui perjalanan heroik dan tragis Rakib, penonton diajak untuk merenungkan tentang kebenaran yang kelam dan tak terelakkan mengenai kebengisan eksistensial yang tak hanya melingkupi karakter dalam film, tetapi juga masyarakat kita secara keseluruhan.
Film ini menggambarkan relasi kuasa sebagai labirin yang kompleks dan berlapis-lapis, seperti jaring yang tak terlihat yang merentang melalui setiap aspek kehidupan kita. Dalam labirin kuasa ini, individu seperti Rakib terjebak dalam perjuangan yang tampaknya tak berujung untuk mempertahankan otonomi dan mencapai keadilan dalam sistem yang tak berpihak dan menindas. Ini adalah gambaran yang tragis dan menggugah, yang membangkitkan kepedihan mendalam tentang realitas eksistensial yang dihadapi oleh banyak individu dalam masyarakat patriarkal.
Autobiography kemudian berfungsi seperti lensa Foucauldian, memfokuskan pandangan kita pada mekanisme kuasa yang tersembunyi dalam interaksi sehari-hari dan tindakan-tindakan yang tampak sepele, namun memiliki dampak mendalam dalam menggambarkan struktur kuasa yang ada. Seolah-olah, film ini menunjukkan bagaimana kuasa, layaknya air yang kapiler meresap ke segala celah, beroperasi dalam berbagai tingkatan dan konteks, merasuki setiap sudut kehidupan dan menjerat individu dalam labirin kompleks yang tak pernah berakhir
Autobiography bukan sekadar menampilkan realitas kebengisan yang mendalam yang bertengger di dalam batin masyarakat Indonesia, tetapi juga mengungkapkan bagaimana diskursus heteronormatif menjadi suatu keabsahan dalam narasi sosial kita. Film ini bukan hanya gambaran kegelapan dari situasi sosial-politik yang ada, tetapi juga menjadi refleksi dari kontradiksi dan pertarungan nilai-nilai yang terjadi dalam masyarakat Indonesia masa kini. Sutradara tampaknya secara sadar mengarahkan narasinya kepada audiens internasional, yang mungkin tertarik dengan eksplorasi pada wacana rezim militeristik di Indonesia. Autobiography kemudian membuka pintu untuk audiens internasional agar lebih memahami dinamika sosial-politik dan budaya di Indonesia. Selain itu, film ini juga menghadirkan teologi sebagai wacana yang kuat, memperlihatkan bagaimana agama dan nilai-nilai religius sering kali digunakan sebagai medium untuk melegitimasi dan mendukung struktur patriarki dan heteronormatif.
Oleh karenanya, Autobiography menjadi lebih dari sekadar karya sinematik, tetapi juga menjadi jembatan antara Indonesia dan dunia internasional, memfasilitasi dialog dan pemahaman antara berbagai perspektif dan pengalaman. Meski mengangkat topik kontroversial, film ini berhasil membuka ruang bagi diskusi yang penting dan perlu tentang kekuasaan, dan dominasi dalam konteks Indonesia.
Daftar Pustaka
Bazin, A. (2005). What is cinema? Vol. 1. University of California Press.
Boellstorff, T. (2005). The Gay Archipelago: Sexuality and Nation in Indonesia. Princeton University Press.
Bourdieu, P. (1984). Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. Harvard University Press.
Bourdieu, P. (2010). The forms of capital. In Cultural theory: An anthology (pp. 81-93). Wiley-Blackwell.
Butler, J. (1990). Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. Routledge.
Camus, A. (1942). The Myth of Sisyphus. Gallimard.
Cine Crib. (2022). Review AUTOBIOGRAPHY, Film Indonesia Paling Menakutkan Tahun Ini! | EDISI JAFF 2022 [Video]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=A4JFzUSkQcs&t=632s
Connell, R. W. (1995). Masculinities. University of California Press.Top of FormBottom of Form
Foucault, M. (1977). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Vintage
Foucault, M. (1978). The History of Sexuality, Volume 1: An Introduction. Random House
Kaya, N., & Epps, H. H. (2004). Relationship between color and emotion: a study of college students. College Student Journal, 38(3), 396.
Mubarok, M. (2022). Autobiography. Kawan-Kawan Media. Prime Video. https://www.primevideo.com/detail/0MXXKKEOO6BFRQSQQ5H2QRINRC/ref=atv_hm_hom_c_cjm7wb_2_1
Sartre, J. P. (1943). Being and Nothingness. Gallimar.
Simatupang, G. R. L. L. (2019). Play and Display: Dua Moda Pergelaran Reyog Ponorogo di Jawa Timur. Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.