kamu yang hening dalam pantulan
kaca jendela. Masih berharap kalau kamu ingin bagi bahagia dengan dia, dia yang
dulu kamu sebut kasih. Entah dalam leksikal sesal atau tidak, kamu menggenggam
kunci ruang itu dalam saku jaketmu. Terlihat samar guratan-guratan angan dalam
setiap bilik ruang, angan yang pernah kalian ikat dalam partikel mati. Masih
dalam pantulan jendela, kamu berfikir dalam, mencoba menyelusuri angan itu.
Perapian sayup terlihat terangnya. Perempuan manis dengan gaun merah. Senyum
kecil terkadang ia padukan dengan tawa palsunya. Iya, benar. Itu perempuan yang
pernah kamu sebut kasih. Bersama kasih lain ia berharap bertemu dengan bahagia
baru. Tapi, apakah dia temukan bahagia baru? Apakah ketika iya bertemu bahagia
baru akan lebih dari bahagia yang pernah kamu beri ?
Kamu berjalan, hingga kini
berhadapan dengan pintu ruang itu. Kamu ingin mengetuknya. Lalu apa yang kamu
harap setelah ketukan itu ? berharap jika ia membukakan pintu lalu mengenalkan
kasihnya padamu ? atau berharap ia memberimu senyum termanisnya lalu
menyembunyikan kasihnya darimu ? klise.
Ketika rumit itu ada, ketika
langkah itu telah berhenti pada persimpangan, saat itulah kongklusi itu nyata.
Imajinasimu melayang entah kemana hingga mencapai fiksi klimaks, tapi realita
terus menggerus rongga faktamu. Kamu dalam siluet senja, pejamkan matamu dan
berfikirlah untuk malam. Berikan sayang yang nyata pada kasih, bukan hanya
terpaku berhadap pintu ruang semu.
0 komentar:
Posting Komentar